Berprivilege Bukan Untuk Menghakimi Orang Lain
- Name
- Halipuddin
- @halip26
Sisa hujan kemarin masih bertahan hingga pagi ini. Udara dan sikapmu bertarung sengit di cakrawala sana, perihal pihak mana yang lebih dingin. Ah. Sial.
Tulisan ini merupakan pergulatan perasaan setelah menonton video dua orang anak kecil, di pinggir pantai, salah satunya sedang asik bermain dengan ayahnya, dan satunya lagi sedang menenteng keranjang jualannya.
Ada orang yang mampu bertumbuh dengan cepat, kemudian berpikir bahwa kemampuan itu murni hasil kemandiriannya. Padahal, kemampuan tersebut adalah hasil dari pengasuhan baik yang diberikan oleh orang tuanya sewaktu dia kecil.
Setelah merasa bahwa kemampuan bertumbuhnya yang cepat adalah hasil dari kemandirian, dia mulai menghakimi orang lain. Merasa aneh, melihat orang lain bertumbuh lebih lambat darinya. Dengan mudahnya menjatuhkan penghakiman bahwa orang lain tersebut adalah seorang pemalas, tidak mau bekerja keras, dll.
Memang begitulah manusia, kita sering menghakimi orang lain dengan menjadikan diri kita sebagai tolak ukurnya.
Berikut dalam analogi yang lebih sederhana dan nyata.
Ada anak yang pandai matematika. Kemudian dia berkata pada temannya yang tak sepandai dirinya, “Eh, kamu makanya jangan malas dong, belajar, jangan tahunya hanya main saja.”
Setelah sepulang sekolah, si anak yang pandai tadi sudah memiliki jadwal belajar yang diaturkan oleh orang tuanya. Diantarkan ke tempat les terbaik. Diberikan semua fasilitas untuk membantunya belajar dengan sempurna.
Sementara anak satunya, kedua orang tuanya bekerja sebagai buruh pabrik. Pulang ke rumah setelah matahari tenggelam. Asalkan anaknya sehat dan masih terus sekolah, bagi mereka itulah definisi dari kata cukup. Setelah melewati hari yang lelah, makan malam, sedikit berbincang, kemudian tidur.
Analogi di atas hanya penyederhanaan, dari realita yang bisa kita saksikan di sekeliling kita.
Kita perlu sadari, bahwa banyak keterampilan hidup yang kita miliki dewasa ini, sebenarnya merupakan perpaduan atas pengajaran-pengajaran yang diberikan oleh orang tua semasa bertumbuh dahulu.
Bukan masalah sama sekali ketika memiliki privilege.
Alih-alih menghakimi orang lain, gunakanlah privilege tersebut untuk menjembatani orang yang tidak seberuntung kita, seperti yang dikatakan oleh Athiya Deviyani,
Menyadari bahwa kamu punya privilege itu lebih ‘utama’ dari bersyukur. Kita bersyukur dilahirkan dengan privilege, tapi menurutku itu saja tidak cukup. Kita harus tahu bagaimana caranya bridge the gap between (menjembatani antara) orang-orang yang kurang punya privilege and where I am now (dan di mana posisiku sekarang). - Athiya Deviyani
Dengan bahasa yang lebih sederhana, bantulah orang lain dengan kelebihan yang Tuhan titipkan, bukan untuk penghakiman.
Privilege juga bukan hanya tentang materi, namun juga bisa dalam bentuk non-materi. Contoh kecilnya, etika dan sopan santun. Tidak semua anak mendapatkan pengajaran tentang itu dari orang tuanya. Sehingga, daripada membesarkan diri karena merasa lebih beretika, bantu untuk mengajari orang yang ‘kurang beretika’ tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Dan terakhir, setiap orang memiliki dimensi pengetahuan yang berbeda.
Catatan: “privilese” merupakan padanan kata dari “privilege”.
Dibuat di Makassar, 19 Maret 2022 7:27 AM
Diselesaikan di Makassar, 20 Maret 2022 7:20 AM